Berpengetahuan dan Berbudaya
Sesuai hasil Resufle KIB II, melalui Kepres No. 59/P tahun 2011, mulai tanggal 19 Oktober 2011, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). Urusan kebudayaan yang semula ada pada Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kembudpar) berpindah ke Kemdiknas. Seperti diketahui, sejak tanggal itu Kembudpar sendiri berganti nama menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf).
Â
Atas kehadiran Kepres tersebut, Kemdikbud menindak lanjutinya dengan mengeluarkan Permendikbud Nomor 48 Tahun 2011 tentang Perubahan Penggunaan Nama Kementerian Pendidikan Nasional Menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Permen ini ditetapkan pada tanggal 24 Oktober 2011. Perubahan nama ini secara struktural disertai dengan penambahan Direktorat Jenderal Kebudayaan berikut unit-unit kerja di bawahnya.
Â
Banyak pertanyaan atas kepindahan, tepatnya bergabungnya kembali, kebudayaan kepada Kemdiknas hingga membentuk Kemdikbud. Bagaimana Kemdikbud memperlakukan kebudayaan ini? Apa bedanya dengan pengelolaan kebudayaan di Kemenparekraf? Bagaimana menempatkan kebudayaan dalam pendidikan?
Â
Kebudayaan dalam Pendidikan
Â
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu semuanya menyangkut substansi dan atau kebijakan Kemdikbud dalam mengelola kebudayaan; merupakan suatu hal wajar diajukan mengingat selama ini debat mengenai kebudayaan bangsa Indonesia selalu hangat dan sepertinya tidak pernah selesai.
Â
Memeriksa sejumlah wacana mengenai bergabungnya kembali kebudayaan dan pendidikan, ada tiga kata kunci yang patut diperhatian: nilai, fungsi, dan integrasi. Untuk nilai, Kemdikbud berkomitmen pada pengembangan dan pemanfaatan nilai-nilai yang dikandung dalam kebudayaan untuk kemajuan bangsa.
Â
Ini penegasan bahwa orientasi Kemdikbud bukanlah pada produk kebudayaan beserta aspek pasar di dalamnya, melainkan lebih mementingkan nilai kebudayaan, untuk menghindarkan diri dari eksploitasi kebudayaan sebagai barang dagangan belaka.
Â
Sebagaimana dimaklumi, nilai adalah hal-hal yang dianggap baik dan buruk oleh masyarakat. Untuk kemajuan bangsa, tentu saja hal yang dianggap baik harus dikembangkan sedangkan hal yang buruk harus ditekan jika tidak bisa dihilangkan sama sekali. Secara normatif, pengembangan produk-produk budaya haruslah diarahkan pada promosi nilai-nilai kebaikan, baik untuk level perorangan, kelompok, komunitas maupun negara-bangsa.
Â
Terkait dengan fungsi, kebijakan Kemdikbud adalah melakukan perlindungan, pengembangan, dan diplomasi kebudayaan. Dengan melakukan ketiga fungsi ini bukan saja setiap produk kebudayaan masyarakat Indonesia akan lestari dari generasi ke generasi, melainkan pula menjadi sarana mempertahankan jati diri bangsa kita di tengah pergaulan dunia yang semakin global (makin hilangnya batas-batas sosio- kultural, sedangkan batas geografis saja makin imajiner).
Â
Patut ditambahkan, dalam ketiga fungsi ini terdapat ruang inovasi dan kreativitas kebudayaan. Di dalamnya setiap putera bangsa, khususnya pada budayawan dan seniman kita dapat melakukan kreativitasnya sesuai dengan bidangnya masing-masing. Dengan demikian, kebudayaan Indonesia niscaya terus berkembang dari waktu ke waktu, sejak zaman dulu kala hingga masa yang akan datang.
Â
Adapun untuk integrasi, prosesnya dapat dilihat dalam Gambar 1, yang merupakan hasil adaptasi penulis atas beberapa visualisasi wacana integrasi pendidikan dan kebudayaan. Dalam integrasi ini, tampak bahwa kebudayaan sebagai sumber nilai yang sejajar dengan pendidikan sebagai sumber pengetahuan. Keduanya saling melengkapi dalam proses pembentukan manusia Indonesia yang berpengetahuan sekaligus berkebudayaan.
Â
Tampak dalam gambar, integrasi di antara keduanya ini berlangsung di sekolah dan masyarakat. Sebagai lembaga pendidikan, sekolah melaksanakan integrasi itu mulai dari penyusunan kurikulum hingga pelaksanaan pendidikan, dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi. Sedangkan masyarakat diharapkan ikut berperan serta aktif dalam proses pembudayaan akan nilai-nilai baik bagi para peserta didik. Bila kedua belah pihak saling menguatkan, termasuk di dalamnya keluarga sebagai komponen masyarakat, bukan mustahil cita-cita membentuk insan Indonesia yang berpengetahuan dan berbudaya akan tercapai.
Â
Cerdas sekaligus Beradab
Â
Seperti apakah insan Indonesia yang berpengetahuan dan berbudaya?. Tentu bukan hal mudah mendefinisikannya, apalagi menunjuk figur pembuktian sebagai contoh teladannya. Menyebut seseorang sebagai panutan belum tentu disepakati oleh semua orang. Karena itu biarlah setiap orang membayangkan sendiri dengan caranya masing-masing. Yang penting semuanya bertemu pada satu titik: tipe ideal manusia Indonesia.
Â
Saya sendiri ingin menggunakan bahasa sehari-hari mengenai tipe ideal manusia Indonesia yang berpengetahuan dan berbudaya tersebut; ia itulah orang yang cerdas sekaligus beradab. Cerdas di sini saya artikan dengan kemampuan mengambil keputusan berdasarkan pengetahuan dan peralatan yang tersedia, sehingga setiap ada masalah selalu berusaha mencari jalan keluarnya.
Â
Sedangkan beradab di sini saya maknai dengan ketaat-azasan pada norma sosial maupun norma hukum sehingga keputusan yang diambil berdasarkan kecerdasan yang dimilikinya senantiasa sejalan dengan peraturan-perundangan yang berlaku. Andai gambar tersebut kita sepakati sebagai praksis untuk membentuk insan yang cerdas dan beradab, tentu kita dapat membayangkan dari sekarang dua hal besar: (1) struktur kurikulum seperti apakah yang mampu mengarahkan para peserta didik menjadi cerdas sekaligus beradab? Nilai-nilai budaya manakah yang mesti masuk kedalam kurikulum guna membentuk insan yang cerdas dan beradab? (2) bagaimanakah melaksanakan proses pendidikan yang mengadopsi nilai-nilai budaya sebagai muatan kurikulum agar pembentukan insan yang cerdas dan beradab tercapai?.
Â
Menjawab dua pertanyaan di atas, yang jelas ada dua hal mendasar yang perlu dilakukan. Pertama, merombak struktur kurikulum yang telah ada. Kedua, melakukan identifikasi nilai- nilai budaya yang produktif terhadap pembentukan generasi yang beradab.
Â
Untuk yang pertama, kendati perubahan kurikulum merupakan hal yang lazim dalam dunia pendidikan, akan tetapi kali ini mesti ditempuh secara lebih strategis.
Â
Perombakan tersebut harus sejalan dengan misi Kementerian pasca bergabungnya kembali kebudayaan ke Kemdikbud, yang mencita-citakan terbentuk insan Indonesia yang berpengetahuan dan berkebudayaan. Kurikulum yang akan dibentuk itu tidak lagi cukup jika hanya menekankan pada pengetahuan sambil mengabaikan kebudayaan. Alternatifnya antara lain mata pelajaran kebudayaan haruslah berimbang dengan mata pelajaran ilmu pengetahuan; atau setidaknya pelajaran kebudayaan [baca, nilai- nilai budaya] menjadi nafas setiap mata pelajaran ilmu pengetahuan.
Â
Bersamaan dengan itu, atau bahkan sebelum perombakan kurikulum, diperlukan kajian yang mendalam mengenai nilai- nilai budaya yang produktif (dan destruktif) yang tersebar dalam kebudayaan- kebudayaan bangsa Indonesia. Nilai yang produktif kita adopsi dan dibudayakan dalam proses pendidikan, di antaranya melalui penyediaan buku-buku pelajaran yang mempromosikan nilai produktif; sementara nilai yang destruktif bagi keberadaban, kita eliminasi dan dihindarkan dari proses pendidikan.
Â
Siapakah yang pertama-tama mesti melaksanakan praksis integrasi pendidikan dan kebudayaan di sekolah-sekolah ini? Kiranya tepat jika pandangan kita semua tertuju pada Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk) Kemdikbud. Sesuai dengan pengalaman dan kepakaran yang dimiliki lembaga ini, Puskurbuk tentu sudah menyongsong proses integrasi kebudayaan dan pendidikan dengan sejumlah kajian, rekomendasi dan peta jalan aksinya.
Â
Instansi lain yang sudah seharusnya menyambut perubahan orientasi Kemdikbud ini adalah Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), sebab badan inilah yang seharusnya memberi panduan (standardisasi) dan orientasi penyusunan kurikulum dan perbukuan, termasuk Puskurbuk. BSNP berperan penting sekaligus strategis dalam mewujudkan insan Indonesia yang berpengatahuan dan bermartabat itu.Â
Â
Â