Kekuatan Dongeng

Kekuatan Dongeng
Cerita atau dongeng yang berkembang di tengah masyarakat ternyata banyak menyimpan kearifan moral yang bisa mengetuk semesta ruhani kita. Dalam dongeng tersimpan ajaran tentang kejujuran, keteladanan, kasih sayang antarsesama dan terhadap makhluk hidup lain. Kita perlu menghimpun cerita-cerita itu, menggali maknanya yang relevan dengan zaman kita, dan mewariskannya kepada anak didik kita. Ini salah satu bentuk transmisi nilai untuk pembentukan watak dan penguatan karakter.
 
Legenda rakyat yang sederhana juga mengandung banyak hal bermakna. Legenda-legenda itu memiliki pahlawan dengan watak dan kekuatan spiritualnya masing-masing, seperti Banta Seudah dari Aceh hingga Raksamana dari Papua, yang mampu mengimbangi pesona artis pop, bintang olahraga, dan pahlawan-pahlawan super dalam budaya modern.
 
Mengapa cerita dan dongeng? Pertama, hidup adalah serangkaian cerita yang saling berjalinan, bukan sekumpulan konsep. Gagasan-gagasan konseptual selalu berjarak dengan kenyataan. Sebaliknya, sebuah cerita, degan seluruh kesatuan makna dan kekayaan rinciannya, tampak lebih dekat dengan kehidupan nyata. Itulah sebabnya kita lebih mudah menuturkan sebuah cerita ketimbangkan menjabarkan sebuah teori. Kita senang bercerita dan diceritai dongeng yang indah.
 
Kedua, dongeng adalah “tanda kasih”. Mendongeng sebagai kebiasaan turun-temurun oleh leluhur bukan sekadar untuk mengantar anak tidur, melainkan juga memberi hadiah – tanda kepedulian dan keterbukaan. Mendongeng adalah memberikan kesadaran kepada pendengar tentang pengertian dan perasaan takjub, misteri, dan penghormatan pada kehidupan. 
 
Ungkapan kasih sayang berupa dongeng selain nantinya akan membentuk watak dan karakter berdasarkan pesan-pesan budi pekerti dan nilai agung yang terkandung dalam dongeng tersebut, ia juga mempererat ikatan emosional antara anak-orangtua atau antara guru-murid.
 
Ketiga, cerita atau dongeng, terutama bila disampaikan secara lisan menarik minat anak-anak secara penuh. Cerita membuat mereka tenang secara fisik dan aktif secara batin. Cerita memicu anak untuk berimajinasi. Saat mendengarkan cerita, mereka akan membayangkan apa yang mereka dengar dalam pikiran mereka. Benar kata Jane Healy dalam bukunya Endangered Minds, “Anak-anak yang biasa diajak bicara, dan dibacakan cerita, sungguh beruntung. Mereka telah belajar bagaimana mendengar dan memberi perhatian” (Heally, 1990).
 
Sekadar contoh, apabila anak-anak mendengarkan dongeng “Puteri Salju dan Tujuh Orang Kerdil”, mereka tidak perlu diingatkan bahwa sifat iri itu tidak baik dan merusak. Kedengkian diwujudkan pada sosok ratu yang jahat dan anak-anak mencelanya sejak awal cerita. Mereka mengabaikan kecantikannya yang palsu dan merasa jijik akan tipu daya dan ambisinya yang tak kenal belas kasihan. Di sisi lain, orang-orang kerdil mewakili kesederhanaan dan ketulusan. Kesedihan para kurcaci akan kematian Puteri Salju begitu menyentuh hati anak-anak. Dan kegembiraan para kurcaci di akhir cerita sesungguhnya hadiah bagi kesetiaan mereka.
 
Begitulah, dengan cerita, anak dapat diajak untuk membayangkan bagaimana sang tokoh dapat menyelesaikan tantangan yang dihadapinya – dan bersama-sama menyimpulkan akhir cerita buatan mereka sendiri. Anak dapat mengonstruksi nilai, cara berpikir, dan merasakan, serta berperilaku, seiring dengan cerita yang disimak dan dibayangkan bersama sang pencerita.
 
Keempat, cerita sebenarnya suatu metafor. Misalnya, novel Cervates, Don Quixote. Orang hari ini menjuluki pahlawan kesiangan dengan sebutan Don Quixote. Atau, kita ingat Malin Kundang kalau menyitir kasus durhaka anak terhadap orang tua. Metafor bukan sekadar untuk memberi pelajaran, melainkan untuk membangunkan. Tiap metafor yang baik juga tak kunjung usang. Ia tak terikat waktu dan ruang. Ia punya daya gugah dan daya lekat sekaligus di benak kita.
 

Saya sepakat ketika Bill Bennett mengatakan,”Jangan pernah meremehkan kekuatan sastra untuk mengajarkan sifat baik. Dongeng dan puisi dapat membantu siswa memahami perbedaan kebaikan dan keburukan. Kisah-kisah itu memiliki sosok yang dapat diteladani. Dan, ajaran moral dari kisah itu dapat meresap hingga ke lubuk hati dan tetap bersemayam di sana” 

 

Share